Rabu, 21 September 2011

Cinta?

Ada sebuah kisah cantik yang dikutip oleh Syaikh 'Abdullah Nashih 'Ulwan dalam Taujih Ruhiyah-nya. Kisah menarik ini, atau yang semakna dengannya juga termaktub dalam karya agung Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang khusus membahas para pecinta dan pemendam rindu, Raudhatul Mauhibbin.

Ini kisah tentang seorang gadis yang sangat cantik. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri2 tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga (amiiinnn..)

Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga pernah memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar wujudnya dalam benaknya. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa emuda ini tampan bagaikan Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaknya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa ketaqwaanya telah berulangkali teruju. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.

Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitlh, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisamenunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama.

Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu.

Dan ia mendapat jawaban, "Ya" katanya.

Akhirnya mereka bertemu di stu tempat yang disepakati.Berdua saja. Awal2 tak ada kata. Tapi bayangan masing2 telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati baha apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.

"Maha Suci Allah", katan si gadis sambil sekilas kembali memandang, " Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan."

Snga pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. "Andai saja kau lihat aku", katanya, "Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukannya. Ketika ulat2 bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janagnlah kau tertipu olehnya."

"Betapa inginnya aku", kata si gadis, "Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu." Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. "Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentukan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan."

Si gadis ikut tertunduk. "Tapi tahukah engkau", katanya melanjutkan, "Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalamu di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban2. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan."
"Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya," kata si pemuda. "Sungguh kawan2 akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa."

Kita cukupkan sampai disini sang kisah. Mari kita dengar komentar Syaikh 'Abdullah Nashih 'Ulwan tentangnya. "Apa yang kita pelajari dari kisah ini?", demikian beliau bertanya. "Sebuah kisah yang indah. Sarat dengan 'ibrah dan pelajaran. Kita lihat bahwa sang pemuda demikian fasih membimbing si gadis untuk menghayati kesucian dan ketaqwaan kepada Allah."

"Tapi," kata beliau memberi catatan. "Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda dan gadis melakukan pelanggaran syari'at. Bahwa sang pemuda mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas dakwah dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam kisah; sang gadis sama sekali tak mengindahkan dakwahnya. Bahkan ia makin berani dalam kata-kata; mengajukan permintaan2 yang mekin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syari'at Allah."

Ya. Dia sama sekali tak memperhatikan isi kalimat dakwah sang pemuda. Buktinya, kalimatnya makin berani dan menimbulkan syahwat dalam hati. Mula2 hanya mengagumi wajah. Lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu bertautan. Kemudian membayangkan berbaring dalam pelukan. Subhanallah, bagaimana jika percakapan diteruskan tanpa batas waktu?

"Kesalahan itu", kata Syaikh 'Abdullah Nashih 'Ulwan memungkasi, "Telah terjadi sejak awal." Apa itu? "Mereka berkhalwat! Mereka tak mengindahkan peringatan syari'at dan pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini."

Ya. Mereka berkhalwat! Bersepi berduaan.

*****