Rabu, 04 Januari 2012

Kecerdasan Lelaki Lusuh *ceritateladan.com

Oleh Abdul Mutaqin di eramuslim.com

Lelaki itu, secara tidak sadar telah memberiku perspektif khusus padanya. Bukan karena suaranya yang bagus ketika memimpin Shalat Shubuh berjama’ah, atau literatur hafalan suratnya yang variatif. Bukan itu. Tapi “ketergesaannya” setiap kali jama’ah Shubuh telah ditunaikan. Dia orang pertama yang membuka pintu mushallah, yang pertama ruku dan mencium sajadah dalam sujud sunnahnya setiap Shubuh. Dia pulalah orang yang pertama melangkah pergi, menjepit sandalnya setelah beberapa saat salam imam terdengar. Ia seolah tidak ingin berlama-lama bersama jama’ah yang lain, larut, tenggelam dalam dzikir. Tidak ketika ia berdiri di depan, atau ma’mum di belakang bersamaku. Begitu setiap kali kuamati. Entah, apakah pada Shubuh-shubuh lain yang terluput olehku tetap seperti itu. Ah, aku sedikit penasaran.



Angkot Biru Tua di pinggir jalan depan rumah kontrakkan yang kutinggali tidak dimatikan mesinnya. Suaranya terdengar tak halus lagi. Samar-samar kulihat sudah ada tiga penumpang duduk berjejer. Sekilas ada penumpang yang datang tergopoh-gopoh sambil membopong keranjang. Kelihatan beban keranjangnya amat berat. Sayang, keremangan Shubuh menghalangi retinaku menangkap dengan jelas orang itu. Sejurus angkot bergerak. Rupanya “si tergopoh” itu adalah penumpang yang ditunggu-tunggu sejak 10 menit menjelang pukul lima pagi sejak tadi. Perlahan Angkot itu menghilang ditelan tukungan yang melipat pandanganku, hingga tak terdengar lagi deru mesinnya.

***

Satu kali, Aku pulang berdampingan setelah Shubuh.

“Tiap pagi, berangkat, Pak ”?, kataku sambil agak tergesa mengikuti langkahnya.

“ Berangkat. Tuh, angkotnya sudah nunggu. Engga enak sama yang lain”.

Ah, rupanya angkot itu jawabannya. Dan laki-laki tergopoh itu, adalah Dia.

Mengertilah aku kini.

***

Sebagai pedagang kecil, lelaki itu tergolong ulet, tekun dan bermental baja. Pisang, Daun Pisang, Cecek (buah Nangka yang masih muda), Daun Pepaya, Daun Singkong dan berbagai sayuran kampung adalah materi dagangan yang dijualnya setiap pagi ke pasar. Keringatnya diperas seharian untuk memenuhi kewajibannya sebagai suami dari isteri serta ayah dari anak-anaknya. Konon sejak muda Dia telah memilih jalan hidupnya dengan berjualan macam begitu. Jodohnyapun bertaut di pasar pada seorang wanita penjual sayuran. Hingga seusia itu, Dia masih setia menjalani hidupnya.

Apa hasil yang dipetik dari usahanya itu? Dalam pandanganku, patut dibanggakan.

Lelaki itu memiliki pikiran maju, jauh meninggalkan rekan-rekannya sesama pedagang di “kelas”nya. Kesadaran tentang arti pentingnya sebuah pendidikan yang dimilikinya, tidak sebanding dengan dengan ukuran “karsanya”. Tapi nyatanya, Ia telah mengantarkan dua orang anaknya menyandang gelar Sarjana Pendidikan, dua orang masih menjalani kuliah, dan satu orang; si bungsu, telah kelas dua SD. Otot dan pundaknya itulah, modal menyekolahkan anaknya. Dari seratus rupiah, seribu dan uang receh yang dikelola bersama isterinya, ia sisihkan dan telah berhasil “membeli” dua caping toga yang telah berhasil disematkan di atas kepala anaknya.

Lelaki itu memang lusuh dan bau keringat ketika bergulat dengan barang dagangan yang sebagain orang memandangnya hina. Tetapi ketika sampai waktu bermunajat, Dia tak sama sekali berbeda beda dengan hamba lain yang selalu pandai menjaga citra di hadapan Allah. Bersih, segar, harum dan bermartabat. Aku mengenalnya dengan penuh kekeguman.

Lelaki itu memiliki kecerdasan emosi dan religi yang bersamaan. Sebagai orang dengan mata pencaharian yang hanya bisa “bermain di pinggiran” dia tidak merasa putus asa dengan “jatah” usaha yang Allah titipkan padanya. Malah, dua orang anaknya …

Dan sebagai orang yang menjalani hidup dengan kemampuan ekonomi sempit, Dia tidak melupakan kewajibannya mengikat bathin kepada Sang Pemberi Rizki dengan seperangkat ibadah yang kasat mata.

Aku teringat dengan kisah yang sewaktu kecil kudapat dari madrasah. Rasulullah pernah menegur agak keras seseorang yang sejak Shubuh tak berhenti bermunajat, mengangkat tangan, berdo’a memohon rizki hingga matahari telah naik tinggi. Ketika ditanya, orang itu menjawab sedang berdoa memohon rizki dan karunia kepada-Nya. Lalu Rasulullah memberinya Kapak, disuruhnya orang itu ke hutan mencari kayu dan dijual ke pasar untuk menafkahi keluarganya. Rizki tidak jatuh dari langit, imbuh Rasulullah.

Yah, hanya semata-mata berdo’a, tidak selalu menyelesaikan masalah, perut tidak menjadi kenyang dan dompet tidak terisi. Sebaliknyapun, berusaha membabi buta, memeras tenaga, otak dan otot hanya semata-mata meraup rizki tanpa menoleh kepada kampung akhirat, seratus persen tidak akan menjamin kebahagiaan abadi.

Lelaki itu bagai cermin bagiku. Di saat kita masih sempat memejamkan mata setelah subuh, dia menyambung zikirnya di ladang pekerjaannya. Dia rela memperpendek zikir Shubuhnya, karena tak ingin orang lain gelisah menunggunya terlalu lama. Di saat orang lain tak peduli dengan sekolah untuk anak-anaknya, dengan alasan makan saja susah, apalagi harus sekolah, ia malah membuktikan sebaliknya.

Semoga kita mengerti, kewajiban memberikan pendidikan kepada buah hati tidak dilalaikan.